Self-fulfillment

Beberapa tahun yang lalu saya pernah ikut mentoring bisnis hadiah kompetisi, dan saat itu sedang diminta untuk menuliskan visi hidup. Mentor saya saat itu protes, karena visi hidup yang saya tulis lebih abstrak dari cita-cita anak SD yang “bermanfaat bagi bangsa dan negara”. Saya menulis: “Bahkan bumi pun akan bersyukur bahwa seorang Gibran pernah terlahir“. Sok puitis, abstrak tingkat dewa. Si mentor pun menasehati bahwa visi harus konkret; berapa perusahaan yang dipunya, berapa asetnya, berapa mobilnya, kalau bisa ada merk dan warnanya. Lah, saya malah heran. Hal konkret begini malah lebih absurd untuk dijadikan visi. Nggak puitis pula.

Tiga tahun setelahnya, saya ketemu dengan pemilik salah satu perusahaan nasional, yang jadi mentor bisnis beneran. Saat itu saya tanya, apa dulu visi hidupnya. Beliau menjawab, “Agar SAYA bisa memberi, sebelum menerima”. Karena saya penasaran ada penegasan di kata ‘SAYA’, saya tanya lagi, “Maksudnya mementingkan orang lain di atas kepentingan sendiri?”. Beliau malah senyum, “Bukan, ini justru kepentingan saya. Dengan ini, saya tenang”. Saya tercenung.

Sebagian orang merasa bahwa tujuan hidup itu harus bersifat material. Sebagian lagi merasa bahwa tujuan dari keberadaan manusia itu sifatnya sosial. Bagi saya, itu tidak sepenuhnya benar. Tujuan hidup seharusnya berada pada tingkatan paling real dalam eksistensi manusia, yaitu individual. Karena kekuatan terbesar selalu hadir dari dalam diri, dimulai dan diakhiri oleh diri. Ketika Bill Gates, salah seorang filantropis terbesar di era modern ditanya tentang mengapa Ia melakukan kegiatan amalnya atau bahkan bisnisnya, Dia menjawab: “I just want to make the world a better place”. Abstrak, klise, sederhana, puitis, a la kontestan Miss Universe. Tapi di saat itu saya tercengang, because HE DID make the world a better place.

Sungguh, sekumpulan manfaat, perbaikan sosial, atau multiplikasi kekayaan hanyalah dampak sekaligus alat dari tujuan individual yang kokoh dan termaknai. Sejarah membuktikan itu. Dalam konteks entrepreneurship, penempatannya pun sama sederhananya. Sesederhana jawaban Eduardo Saverin, co-founder Facebook saat ditanya alasan keluar Facebook dan pindah ke Singapore: “I don’t want to make another Facebook, I just want to make sure that my life is fulfilling”. Atau juga sesederhana jawaban senior saya saat ditanya mengapa memilih jadi pengusaha, “Agar saya punya banyak waktu dan energi yang luang untuk diinfakkan di jalan dakwah”. Abstrak, puitis, tapi bermakna luar biasa.

Ingin memulai bisnis? Jangan dulu tanyakan bagaimana caranya. Tapi tanyakan pada nurani, dan pastikan bahwa alasannya demi memuaskan hati. Make sure that this is about self-fulfillment.

Tinggalkan komentar