Bandung dan Valentine

images

Hari Valentine adalah fenomena sosial tahunan. Saya tidak akan membahas tentang hukum merayakannya atau kaitannya dengan penyelewengan tauhid. Saya asumsikan bahwa kita semua sudah mengetahui hal itu, karena memang media Islam kontemporer, mulai dari buletin-buletin, majalah-majalah islam, hingga ta’lim-ta’lim sudah banyak membahas tentang sejarah Valentine dan kaitannya dengan ‘Aqidah keislaman. Kali ini saya hanya ingin menegaskan kalimat pembuka tadi: bahwa hari Valentine adalah fenomena sosial tahunan.

Sebagai fenomena tahunan, maka hari Valentine mirip dengan momentum-momentum tahunan lainnya, seperti tahun baru, hari kemerdekaan, hari Natal, dan bahkan ‘Idul Fitri dan ‘Idul adha. Saya tidak bermaksud menyandingkan momentum sepele seperti Valentine dengan hari besar-sakral yang disebutkan. Hanya saja, jika melihat sikap masyarakat, terutama pemuda dan pemudi, dalam menyambut hari Valentine hampir terlihat sama antusiasnya dengan perayaan hari-hari besar tadi.

Sekurang-kurangnya ada dua hal yang ingin saya garis bawahi sebagai indikator kemiripan hari Valentine ini dengan momentum tahunan lain: 1) Munculnya komoditas dan alih profesi dadakan, dan 2) Konsentrasi kepadatan manusia di titik-titik tertentu.

Yang pertama, munculnya komoditas dan alih profesi dadakan. Setiap momentum tahunan selalu memiliki produk komoditas domestik utama yang menjadi ciri khas momentum tersebut. Jika di tahun baru ada terompet, di hari kemerdekaan ada bendera merah putih, di ‘Idul Fitri ada daun ketupat, dan di ‘Idul Adha ada hewan ternak, maka hari Valentine memiliki bunga sebagai trademark dan komoditas domestik dadakan. Lalu, secara mendadak pula, semua penjual, mulai dari penjual sayur, penjual siomay, penjual rokok, penjual donat, hingga penjual janji (emang politikus?) beralih profesi menjadi penjual bunga. Jalan Dago menjadi saksi bagaimana setiap titik strategis dipenuhi oleh penjual bunga yang setiap lampu merah menyala akan berhamburan seketika seperti gerombolan semut yang berebut gula merah: ramai, sesak, tidak terkendali. Setiap sisi jalan akan langsung diisi oleh penjual bunga yang bahkan menjual bunga dengan model dan harga yang sama, dan menawarkan ke calon pembeli yang telah menolak berulang kali karena telah berkali-kali ditawarkan untuk membeli bunga. Saat lampu hijau yang ganti menyala, maka trotoar akan segera sesak oleh penjual-penjual tadi yang menanti lampu merah menyala lagi. Melihat mereka rasanya seperti melihat imigran asing yang berusaha menembus perbatasan. Dan ketika lampu merah menyala lagi, maka mereka kembali ke jalanan dengan senyum lepas sambil melantunkan ucapan selamat dengan tidak terlalu fasih; “Hepi Palentain”.

Yang kedua, konsentrasi kepadatan manusia di titik-titik tertentu. Setiap momentum tahunan juga memiliki titik-titik strategis dimana manusia berkumpul di sana untuk merayakannya. Terkonsentrasinya jumlah manusia di satu tempat tertentu ini kadangkala menjadi ciri khas momentum tersebut. Hari tahun baru membuktikan dengan padatnya tempat-tempat wisata dan jalan raya. ‘Idul fitri membuat titik rawan macet di jalur Pantura akan padat seketika. Hari kemerdekaan menarik masyarakat untuk memadati lapangan tempat orkes dangdut dan pembagian hadiah lomba dilangsungkan. Dan hari valentine, menarik pemuda-pemudi untuk memadati jalan dan kafe-kafe sekitar.

Bandung yang sekarang mungkin tidak lagi layak disebut kota kembang, tapi lebih pantas disebut sebagai kota Kafe. Karena, jumlah kafe di Bandung sangat padat jika dibandingkan dengan luas kotanya. Maka, tak heran jika sepanjang jalan Dago, yang memang terdapat banyak kafe, dipadati oleh muda-mudi yang merayakan Valentine. Dago menjadi teramat amat sangat ramai sekali banget. Ini tidak berlebihan; karena Dago memang benar-benar ramai. Sangat ramai. Ramai sekali. Sekali ramai. Tetap ramai. Kepadatan penduduk kali ini benar-benar tersentralisasi ke Dago, karena tempat-tempat lain seperti alun-alun tampak sangat sepi. Jika jadwal kencan sejoli-sejoli di Bandung bervariasi mulai dari malam senin hingga malam minggu, maka kali ini semua jadwal itu mereka ubah menjadi malam minggu tadi. Maka bayangkanlah bagaimana muda-mudi, mulai dari kelas atas yang mengendarai mobil mewah, hingga kelas menengah ke bawah dengan fasilitas seadanya, berkumpul secara terpusat di satu jalan protokol, Dago, dan dengan sembarangannya berkeliaran ke tengah jalan. Mengendarai motor di sini sama saja seperti menembus kerumunan manusia di Pasar Induk dengan menggunakan sepeda ontel yang tidak memiliki rem. Segala macam komunitas tertumpah ruah di jalan ini, mulai dari komunitas geng motor gede, klub motor jupiter, anak gaul sekolah, hingga anak punk underground. Interaksi intra dan inter-komunitas menampakkan sebuah pemandangan yang unik jika kita melihat semuanya secara menyeluruh.

Tapi, sayangnya, candu malam tadi benar-benar membius muda-mudi itu hingga membuat mereka terlena. Tawa mereka terlihat tidak lagi alami, namun lebih tampak seperti dalam pengaruh ekstase hari kasih sayang. Tindakan melanggar norma berupa interaksi dengan lawan jenis yang tidak layak ditampilkan di tempat umum seolah menjadi hal yang sudah biasa. Muda-mudi bergandengan tangan dengan mesra. Dan bukan hanya muda-mudi, tapi juga mudi-mudi, dan, ehem, muda-muda. Yang mengerikan adalah semua ini dilakukan secara massal. Maka Jalan Dago pun berubah menjadi Jalan tanpa rasa malu.

Tidak jauh dari sana, sekumpulan pemuda-pemudi lain sedang melangsungkan mabit dan qiyamul lail di masjid Salman ITB. Dengan diawali oleh kajian fiqh kontoversial kemudian dilanjutkan dengan halaqah Al-Quran untuk menyetorkan hafalan, suasana di sana praktis sarat dengan aura spiritual yang kental. Para peserta sangat asyik menikmati sajian ruhiyah di acara tersebut. Komparasi dua aktivitas yang bertolakan ini memperlihatkan sebuah paradoks tentang realita kepemudaan.

Setelah mengikuti kajian di salman dan melakukan sedikit observasi di sekitar Bandung, saya memutuskan untuk kembali ke asrama. Di asrama saya berkontemplasi tentang apa yang saya lihat.

Temaram kota Bandung sesaat berubah menjadi suram, dan garis lampunya menampakkan kesedihan. Kemudian, malam pun kembali larut, dan menyisakan tanya tentang dunia.

5 pemikiran pada “Bandung dan Valentine

  1. Geb, ga liat?
    itu teh yang di sebelah ibu-ibu pake baju ijo bulet2 jualan bunga deket trotoar, di sebelahnya teh arin jualan cokelat…. hahaha, lumayan mencari nafkah..
    ya.. kali-kali lah merasakan pahitnya hidup (maksyud lho?)

    Kurang tuh geb observasinya..
    Di bagian bumi yang lain, cewe2 cantik lagi kumpul2 bareng, ketawa2, ngomongin orang (included u!), dan melakukan hal2 bodoh seperti biasanya dalam rangka perayaan ulang taun yang sebetulnya, ulang taun sapa juga gwa bingung… hohoho

    Dan di saat orang2 di jalanan bandung ngerayain palentenan atau bareng2 mabit dan qiyamul lail di salman, cewe lucu ini bermesraan dengan komputer tersayang, mmmuacht!

    Gwa jadi mikir….

    mikir apa yah?
    haha
    ga jelas memang…

  2. halah eta gambarna meuni lope lope bunga2 kitu… asa romantis geb…
    lebay tapi….
    hahahahahaha
    mendingan poto arin baerarti.

  3. shockculture said:

    seharusnya saat itu saya berada di sana, menyaksikan fenomena itu semuanya..

Tinggalkan komentar