Hoax Cacing Cawu

Kasian jadi Mark Zuckerberg. Saya baca beberapa artikel di Techcrunch dan BuzzFeed soal tuntutan orang ke Facebook supaya bisa bikin algoritma mencegah penyebaran berita hoax, dan akhirnya jadi kambing hitam atas terpilihnya Trump. Lah? Yang bikin, baca, nyebar, dan terpengaruh, adalah orang-orang yang ngasal, kenapa FB yang salah?

Kalo saya jadi Mark, pasti udah menggerutu, “maneh nu nyieun jeung nyebar hoax, naha aing nu disalahkeun, kehed?!“. Untung si Mark nggak ngomong gitu, karena nggak bisa bahasa Sunda. Kalaupun bisa, mungkin dia pakai umpatan yang lebih halus dibanding ‘kehed‘. Mungkin seperti ‘cacing cawu‘.

Sebenernya nggak perlu algoritma buatan Facebook, cukup pakai algoritma tingkat tinggi yang sejak dulu ada, yaitu otak. Atau bahasa sundanya, uteuk. Nah, saat baca berita, coba diserap pakai otak, dan difungsikan sebagaimana mestinya: sebagai alat pencari kebenaran. Jangan kalah dengan jempol yang jelas-jelas ukurannya lebih kecil, dan biasanya dikendalikan nafsu buta membela kepentingan politik dan golongan.

Nggak butuh deh kita AI segala. Pakai aja otak, dan pastiin beneran dipakai, biar nggak cuma jadi pengisi rongga kepala. Karena kalau nggak dipakai, ini hanya akan jadi otak-otakan, bukan otak beneran. Atau bahasa sundanya, uteuk-uteukan. Tahukah Anda apa yang suka uteuk-uteukan? Ya: cacing cawu.

24/7 CEO, 24/7 Manusia

Satu waktu, saya pernah mengisi acara dengan salah satu investor modal ventura di Indonesia. Saat ditanyakan apa biasanya faktor yang mereka lihat dalam memberikan investasi kepada satu startup, dia menjawab, “Founder-nya dong“. Jawaban lumrah. Tapi, kemudian dilanjutkan, “kita melihat seberapa keras mereka kerja. Kalau jam 7 malem udah pulang kantor, founder macam apa itu. Seenggaknya 80-100 jam lah seminggu“. Saya mengernyitkan dahi mendengar itu. Wah, si Bapak ini kelihatannya nggak akan investasi ke saya yang nggak jarang pulang sebelum jam 7 malam. Tentu, alasan saya bukan malas kerja layaknya oknum PNS gaji buta. Tapi, bagi saya, premis tentang kerja panjang adalah cara terbaik untuk mendapatkan hasil yang pasti memuaskan, sangatlah tidak masuk akal.

Mitos Workaholic itu Keren dan Produktif

Entah dari mana asalnya, masyarakat kita sangat memuja kerja. Workaholic, dianggap keren. Posting-an di media sosial yang masih kerja di akhir pekan, dianggap ganteng. Begadang demi pekerjaan, dianggap teladan. Bahkan, rumah tangga yang retak, hidup yang tidak bahagia, teman yang tidak punya, karena lebih sering bekerja, dianggap bentuk hakiki dari determinasi. Pengorbanan yang layak, katanya. Lihatlah bagaimana dunia startup kita begitu iri dengan 80-100 jam kerja per pekan yang ada di Silicon Valley dan Cina. Kerja, yang utama.

workaholic_000015949815XSmall.jpg

Apakah membahagiakan orang tua, menjaga keutuhan keluarga, dianggap lebih mudah daripada memenuhi capaian dalam bisnis dan pekerjaan? Tentu saja, tidak. Buktinya, banyak yang gagal melakukannya. Tapi, masyarakat yang didikte oleh pola pikir materialistis, dengan tidak sadar menempatkan pekerjaan sebagai prioritas tertinggi dari capaian hidup yang bisa kita ukur, serta hal terbesar yang perlu kita kejar. Saya menolak mengikuti dogma ini.

Di sisi lain, apa bekerja lebih panjang memang hasilnya lebih efektif? Ternyata, tidak juga. Studi yang dilakukan Harvard Business Review memperlihatkan kalau bekerja 70 jam sepekan itu berbahaya. Lama waktu kerja, ternyata tidak sebanding dengan jumlah luaran yang didapatkan. Di beberapa studi, hal ini justru menyebabkan penurunan dalam performa; karena waktu kerja yang panjang akan menurunkan konsentrasi, menghabiskan energi, menimbulkan kebosanan, menurunkan ketahanan tubuh, hingga bisa berujung depresi. Makanya, jangan heran kalau di Silicon Valley tidak jarang ada tragedi bunuh diri.

Melihat durasi waktu kerja sebagai indikator kelayakan seorang CEO, bagi saya tidak rasional. Dasar premisnya sama sekali tidak logis. Metric yang terbaik seharusnya jelas saja luaran yang dihasilkan, bukan waktu yang dikeluarkan. Pemimpin perusahaan terbaik adalah yang bisa mendorong performa perusahaan secara optimal, panjang ataupun pendek waktu kerjanya. Kalau dia bisa menghasilkan lebih banyak dengan waktu kerja lebih sedikit, kenapa tidak?

Workaholics aren’t heroes, they don’t save the day, they just use it up. The real hero is already home because she figured out a faster way to get things done” – Jason Fried

Peran yang Integral

Kenapa standar 80-100 jam kerja per pekan ini dianggap tolok ukur kelayakan CEO dan founder? Menurut saya, ini karena perspektif sempit dalam melihat peranan CEO secara diskrit. Tuntutan kepada seorang CEO  yang harus bekerja di kantor selama 16 jam sehari hadir dari anggapan bahwa pekerjaan CEO hanya dilakukan di 16 jam tersebut. Dan anggapan negatif terhadap CEO yang kerja di bawah itu, juga didasari dari hal yang sama; di luar jam kerja, maka sang CEO tidak bekerja. Ini sudut pandang yang salah.

Apakah saat saya di kantor sebagai CEO, maka saya libur sebagai suami, ayah, dan hamba Tuhan? Tentu tidak. Saat saya di kantor dan bekerja sebagai CEO, toh status saya tidak jadi jomblo dan ateis; tetap berkeluarga dan beragama. Lalu, kenapa saat bercengkarama dengan keluarga di rumah, kita dianggap tidak bekerja? Pemikiran diskrit dalam melihat pekerjaan inilah yang berujung pada penghambaan terhadap kerja. Padahal, peranan CEO dan founder, sudah selayaknya terintegrasi dengan peranan lain kita dalam hidup.

Dengan bekerja, saya memenuhi tugas saya sebagai ayah dan suami yang mencari nafkah; sekaligus memenuhi perintah agama untuk beribadah. Sebaliknya, saat menjadi suami, ayah, dan hamba Tuhan, saya memenuhi tugas saya sebagai CEO. Perusahaan memerlukan saya dalam kondisi prima secara intelektual, emosional, mental, dan spiritual. Interaksi dengan keluarga dan Tuhan adalah upaya seorang CEO untuk memperbaharui level energi dan kondisi dirinya, agar bisa memberikan performa terbaik untuk perusahaan. Kondisi optimal ini hanya bisa terjadi ketika setiap sisi diri secara seimbang terpenuhi. Semua tanggung jawab kita dalam sudut hidup yang berbeda, sebenarnya saling berhubungan dalam satu kesatuan. Inilah bentuk peranan yang integral kita sebagai manusia.

24/7 Manusia

Saat berkomitmen untuk membangun perusahaan dan menjalankannya, kita mengambil tanggung jawab besar bahwa perusahaan bergantung kepada kita. Ini pun berlaku sama saat kita memutuskan untuk menjadi kepala keluarga. Dengan kata lain, pada dasarnya, tidak ada batasan waktu yang tegas antara kehidupan profesional dan personal. Kita berperan di keduanya selama 24 jam dalam 1 hari, 7 hari dalam sepekan.

Maka, dalam praktiknya, tidak ada ruang batasan yang membedakan keduanya. Saya sering menyelesaikan pekerjaan tengah malam di rumah setelah waktu bersama keluarga terpenuhi; dan sering juga merencanakan aktivitas keluarga di tengah waktu istirahat di kantor. Saya tidak akan segan jika memang harus menginap 3 hari di akhir pekan, atau melakukan perjalanan bisnis beberapa hari, mengurangi waktu dengan keluarga; jika memang perusahaan sedang membutuhkan. Dan saya pun tidak akan ragu untuk menjauhkan diri dari kesibukan pekerjaan, jika urgensinya ada dalam kehadiran saya di tengah keluarga. Toh, saat melakukan keduanya, saya sama-sama berada dalam upaya memenuhi tanggung jawab integral saya sebagai kepala perusahaan dan kepala keluarga.

Dan, pada ujungnya, hidup kita tidak hanya didefinisikan oleh karya satu-satunya; dan identitas kita tidak hanya tertera pada satu sisi saja. Kelak, saat kita mati, orang di sekitar kita akan mengenang hal-hal yang telah kita lakukan dalam berbagai macam keadaan. Di level yang lebih tinggi, hasil hidup kita akan ditakar dari amalan positif kita di berbagai macam peran. Kita akan dinilai dan diingat dari wujud utuh yang terbentuk dari optimalisasi berbagai macam tanggung jawab kehidupan.

Jadi, alih-alih berfokus pada 80-100 jam kerja per pekan saja, ada baiknya kita memaknai hidup dari sudut pandang yang lebih paripurna; serta mencoba melakukan segala hal secara adidaya, 24 jam perhari, 7 hari per pekan, untuk bisa sebaik-baiknya menjadi manusia.

Jurang Kekosongan yang Nyaring Bunyinya

“Ignorance more frequently begets confidence than does knowledge” – Charles Darwin

Disamping untuk pamer dan pencitraan, saya sudah jarang scrolling media sosial seperti Facebook dan Twitter (paling-paling hanya Quora). Selain karena sok sibuk dan mencoba lebih produktif, media sosial kini sangat bising. Bisingnya terkadang bikin sebal sampai ke ubun-ubun. Dari urusan politik, agama, bisnis, bahkan urusan pribadi, ada saja orang-orang yang tidak kompeten yang mengutarakan pendapat sesukanya tanpa ada pemahaman yang cukup dan proses logika yang tertata. Bising karena isinya memang tong-tong yang kosong yang beradu nyaring.

Walaupun menyebalkan, hal begini memang fenomena psikologis yang lumrah, disebutnya Dunning-Kruger effect. Ini adalah postulat yang dikeluarkan oleh David Dunning dan Justin Kruger di thaun 1999, yang menyatakan bahwa orang yang tidak kompeten dan pengetahuannya terbatas memiliki bias kognitif serta mengidap superioritas yang ilusif; mereka seringkali menakar kemampuannya melebihi kenyataan. Lebih jelasnya lagi diperlihatkan di grafik ini:

Screen-Shot-2015-02-14-at-6.08.11-PM.png

Grafik ini menunjukkan bahwa orang yang mempunyai pemahaman yang sedikit, cenderung memiliki kepercayaan diri yang berlebihan. Mereka merasa paling tahu dan pintar tentang bidang yang baru sangat sedikit mereka ketahui; dan secara tidak sadar mengabaikan ketidaktahuan mereka.

Di era informasi seperti sekarang, ilusi superioritas ini semakin mudah menjangkiti banyak orang. Karena sudah beberapa kali menonton Mata Najwa dan headline news di Metro TV, tiba-tiba merasa menjadi pakar politik. Karena sesekali baca artikel di linimasa atau baca Wikipedia, tiba-tiba merasa paling paham ilmu sosial. Karena sering datang pengajian sepekan sekali dalam beberapa bulan terakhir, tiba-tiba mengira sudah paling sholeh sedunia, atau setidaknya sudah selevel ulama.

Ilusi superioritas ini semakin diperparah dengan mentalitas yang bully dan intimidatif. Karena merasa paling, orang-orang seperti ini siap untuk menyerang siapapun yang berbeda pendapat. Semuanya pasti salah, karena mereka merasa paling benar dan paling pintar. Dan media sosial menjadi arena yang tepat, karena argumentasi bisa dilakukan tanpa nyali dan tanggung jawab; bisa sambil browsing di Google dulu kalau ada yang kurang paham, dan setidaknya bisa bersembunyi dibalik layar 5 inci.

Kenapa masalah ini semakin banyak dan menular? Karena, sebagaimana grafik di atas, orang-orang seperti ini, saat baru tahu sedikit, berhenti untuk mencari tahu lebih. Mereka tersangkut di satu titik puncak kepercayaan diri berlebih, sekaligus titik pemahaman yang minim. Akhirnya, terjerambab lah dalam jurang yang disebut jurang kekosongan yang nyaring bunyinya. Jelek banget ya namanya. Biarin aja. Jurang ini isinya tong-tong kosong yang saling beradu. Berisik dan menyebalkan.

Jadi, saya mohon, jika rekan Anda terjebak di jurang ini, segera selamatkan. Caranya mudah, semudah membaca grafik di atas: terus tambah pemahaman. Sedikit saja pemahaman bertambah, maka terbuka pula mata kita dari kebodohan kita sendiri. Itulah alasan kepercayaan diri akan menurun drastis. Semakin kita sadar betapa kita bodoh, semakin kita tidak percaya diri -dan berhati-hati, dalam berpendapat. Dan ini titik awal yang paling penting, karena kesadaran akan kebodohan dan ketidakpercayaan diri kita akan memicu pembelajaran lebih dalam, yang kemudian menaikkan kita ke level selanjutnya; dimana kita percaya diri karena benar-benar mengerti. Ini lah yang disebut bijaksana.

Dalam dunia nyata, kasus yang memperlihatkan kebenaran Dunning-Kruger effect ini bisa kita perhatikan dimanapun. Bagaimana mahasiswa tingkat satu merasa pintar dan belagu, sedangkan si professor sangat rendah hati. Bagaimana ulama sangat sejuk dan bijak, sedangkan orang baru tobat sangat agresif dan judgemental. Dan banyak contoh lainnya. Mari, belajar menjadi bijaksana, setidaknya dengan terlebih dahulu tahu bahwa kita belum banyak tahu; dan dengan terlebih dulu sadar bahwa kita perlu banyak belajar.

Dysrhythmia

Saya berada pada kondisi dimana dimensi ruang dan waktu terdistorsi. Ketika eksistensi yang kita pilih untuk dirasa adalah dilusi. Mungkin karena saya terbiasa oleh satu keadaan -yang jika hal itu berubah drastis ke sudut ekstrem, setiap inci tubuh kita akan berupaya menolak; lalu kita kehilangan kemampuan untuk mengindera mana nyata dan mana maya. Seperti jet lag; saat terbiasa oleh ritmik circadian di satu zona waktu, tubuh kita akan kesulitan membedakan mana siang dan mana malam.

Saya masih belum bisa mencerna fakta bahwa ia telah tiada. Saya masih merasa bahwa di ujung jaringan ponsel ini, jika saya hubungi nomor dia sekarang juga, suaranya masih akan menjawab dengan salam. Dan jika saya pulang ke rumah, akan hadir dia menyambut di depan pintu. Bahwa di ruang depan ‘kan terduduk dia disana. Bahwa di kamar sebelah terlelap lah dia di dalamnya. Dan di akhir hari, akan ada obrolan ringan ayah-anak, yang terlihat dingin tapi terasa hangat. Inilah yang nyata, meskipun bukan yang fakta.

Karena fakta hanyalah pil legam yang terlalu pahit untuk sekedar terbesit. Bagaimana saya bisa menerima fakta bahwa sosok yang mengajarkan saya arti kekuatan, bisa terkulai lemah tak berdaya? Bagaimana saya bisa menerima fakta bahwa orang yang memperlihatkan makna perjuangan, harus kalah di pertarungan terakhirnya? Bagaimana saya bisa menerima fakta bahwa dia yang selalu ada, kini tetiba tiada? Fakta hanyalah pil legam yang terlalu getir untuk sekadar terdesir.

Dan tidak seperti jet lag yang jika sering-sering memaparkan diri ke sinar matahari semua akan reda -karena kita telah terbiasa dengan fakta zona waktu yang baru; terpapar realita sama sekali tidak membantu dalam hal ini. Tidak ada potongan fakta yang mampu memaksa saya untuk menelannya sebagai hal nyata yang harus dipercaya. Tidak ketika saya menyaksikan monitor jantung yang menunjukkan berhentinya detak. Tidak juga ketika saya melihat wajahnya yang memucat pasi. Tidak juga ketika saya menyentuh tubuhnya yang dingin dan kaku. Tidak juga ketika saya harus menyiram air membasuh seluruh badannya. Tidak juga ketika saya membungkusnya dengan kain kafan. Tidak juga ketika saya berdiri di shaf terdepan dengan dia tersimpan dalam keranda. Tidak juga ketika saya menempatkan jasadnya di dalam liang. Tidak juga ketika saya memandang tanah yang menutupnya hingga menjadi gundukan.

Tidak juga ‘kan waktu.

Less for More

Di bulan Ramadhan kemarin saya sempat one-on-one mentoring dengan salah satu pemilik saham mayoritas grup perusahaan di sektor agri yang sudah publik. Karena level bisnisnya sudah jauh berbeda, selain network, sebenarnya nggak banyak yang bisa diimplementasikan. Apa yang beliau disampaikan seringnnya terlalu umum, kadang juga sangat korporat. Tapi, justru ada kejadian menarik yang nggak berkaitan sama sesi ini.

Waktu mentoring selesai, saya meletakkan HP BB Armstrong buluk saya di atas meja. Bentuknya memang suram, sesuram jomblo mendalami kisah asmaranya. Ini pun hasil warisan dari istri sendiri, karena HP sebelum ini HP jadul hasil minta ke suhu Al. Melihat HP saya, si Bapak senyum dan mengeluarkan HP yang sama, BB Armstrong, tapi casing luar lebih terawat.

“Sama dong HP kita”, kata dia.
“Kok tumben anak muda startup macam kamu nggak pakai HP necis?”, tambahnya.

Emang anak gaul perkotaan HPnya keren sih. Mungkin, di pikiran dia, HP saya begini karena memilih jalan sederhana dan anti-kemapanan. Padahal cuma karena kere. Tapi, dipikir-pikir, saya masih wajar pakai HP seadanya, kan makan sehari-hari masih gehu dan bala-bala. Lah, beliau ini kan perusahaannya udah triliunan, Tbk pula, justru saya yang harusnya heran.

“Iya, Pak. Biar praktis, kan udah punya tablet buat internetan. Justru saya yang lebih heran, kok Bapak HPnya cuma gini aja?”, tanggap saya.

Seakan sudah berharap saya menanyakan itu, si Bapak tersenyum sambil menunjuk HPnya. “Dengan HP yang harganya segini, saya bisa handle bisnis triliunan, dan menghasilkan triliunan kan. Bandingin sama anak muda yang HP bagus dipakai untuk update social media, nilai produknya timpang. This is less for more!”

Saya tercenung. Selain karena saya baru sadar kalau di kantong kirinya terselip HP necis, yang berarti dialog tadi cuma akal-akalan dia supaya bisa menyampaikan konsep itu ke saya, saya tercenung dengan konsepnya yang luar biasa dalam. Less, for more. Hal yang lebih sedikit, untuk hal yang lebih banyak. Pulangnya saya merenung, dan semakin sadar bahwa aplikasi konsep ini sangatlah luas.

Less for more adalah tentang efisiensi dan daya guna. HP si Bapak adalah simbol dari sumber daya yang kita miliki: waktu, tenaga, orang-orang di sekitar kita, dan lain sebagainya. Dan cara dia menggunakannya menjadi gambaran bagaimana kita bisa mengoptimalkan sumber daya. Seharusnya kita bisa memaksimalkan satu jam waktu dan energi kita, dengan menghasilkan dampak riil yang lebih besar dari biasanya. Saya yang bisnisnya nggak gede-gede amat, hanya bisa khatamkan 1 buku per pekan. Sementara Elang Gumilang yang nilai proyeknya sudah 10 triliunan, bisa menamatkan 1 buku setiap harinya. Apa yang membedakan ini? Penggunaan waktu yang lebih sedikit, untuk hasil yang lebih banyak. Ini berkaitan dengan konsep selanjutnya.

Less for more adalah tentang alokasi. Dalam setiap unsur yang tangible dan berbatas, alokasi menjadi kunci efektivitas, dan ini selalu soal memilih. Dalam unsur waktu yang hanya kita miliki 24 jam sehari (berbatas), alokasi kita terhadap hal tersebut jadi dasar dari dampak yang dihasilkan. Kita tidak bisa tidur 8 jam sehari, main game 4 jam sehari, jalan-jalan 4 jam sehari, lalu berharap jadi pintar dan berkecukupan tiba-tiba, tanpa alokasi waktu belajar dan bekerja, kan? Jika uang kita 5 juta rupiah dan 4 juta dipakai beli HP, tentu akan berbeda hasilnya ketika 500ribu dipakai beli ponsel, 3juta sedekah, dan 1,5juta sisanya berinvestasi. Dalam unsur yang berbatas, memutuskan untuk menghabiskan lebih sedikit pada satu hal, akan menyisakan lebih banyak untuk dimanfaatkan ke hal lain, yang luarannya bisa jauh berbeda. Less for more.

Less for more adalah tentang kejernihan memandang diri. Akar masalah pada konsumerisme manusia jaman sekarang adalah ketidakmampuan membedakan dengan jelas antara kebutuhan, keinginan, dan kemampuan; lalu salah memutuskan mana yang dipilih diantara ketiganya. Saat pada kenyatannya, kebutuhannya hanya nokia 3310, keinginannya iPhone, dan kemampuannya Xiaomi, orang-orang yang bias akan menganggap keinginannya adalah kebutuhan, sehingga menimbulkan hasrat diri untuk memenuhinya. Jurangnya dengan kemampuan lah yang kelak akan menjadi lubang: yang jika memaksa mencapainya akan memberikan tambalan tidak perlu pada materi, dan jika tidak tercapai akan memberi jarak dengan kebahagiaan dan kepuasan. Titik jernih adalah saat sadar bahwa kebutuhan kita selalu lebih sedikit (less) dari keinginan, dan bahwa kemampuan kita bisa didedikasikan pada keinginan yang di arahkan ke sudut lain yang berdampak lebih besar (more).

Penjelasan panjang lebar di atas pada hakikatnya telah diteladankan dengan sederhana oleh Rasulullah dan sahabatnya. Melalui efisiensi waktunya yang bekerja efektif siang hari, dan beribadah tiada lelah di malam hari. Melalui alokasi materinya yang memilih sedekah berlimpah, dengan merelakan memakai sandang tambalan. Melalui mentalitas sederhananya dalam titik jernih yang tiada banding. Lalu, tidak jarang muslim kini yang meneladaninya hanya karena mereka kaya dalam materi, lalu melupakan bahwa kekayaan sebenarnya ada di dalam konsep diri.